Cerita Seks ML Dengan Pacarku Yang Masih Perawan
Cerita Seks ML Dengan Pacarku Yang Masih Perawan
![]() |
Cerita Seks ML Dengan Pacarku Yang Masih Perawan |
Berita Terkini - Ini adalah pengalaman pertama saya melakukan hubungan seksual. Kebetulan pula wanita itu juga baru pertama kali melakukannya. Dia adalah pacar saya. Sebutlah namanya Mesi. Memang dia sudah beberapa kali saya ajak ke rumah saya. Tapi setiap kali ke rumah, kami hanya sekedar tiduran dan paling jauh cuma ciuman saja.
Ceritanya bermula ketika untuk kesekian kalinya dia saya
ajak main ke rumah. Awalnya seperti biasanya kami cuman cium-ciuman saja. Cium
pipi, cium bibir, hal biasa kami lakukan. Entah setan apa yang lewat di benak
kami.
Tangan kami mulai berani meraba-raba bagian lain, sebenarnya
tidak pantas dilakukan oleh dua insan yang belum menikah. Ketika tangan saya
meraba payudaranya (kami masih berpakaian lengkap), dia sama sekali tidak
menolak. Ini membuat saya sedikit lebih berani untuk meremas payudaranya sedikit
lebih keras. Ternyata dia menikmatinya.
Saya mencoba untuk melakukannya lebih jauh lagi. Kali ini
tangan saya perlahan-lahan saya arahkan kebagian selangkangannya. Dia masih
tidak menolak. Saat itu dia memakai celana panjang dari kain yang tipis, jadi
saya bisa merasakan lembutnya bibir kemaluannya.
Tanpa saya sadari tangannya juga telah mengelus-elus
selangkangan saya. Mungkin karena pikiran saya terlalu tegang, sampai-sampai
saya kurang memperhatikannya. Kurang masuk akal memang. Tapi itulah yang
terjadi.
Kepasrahannya semakin melambungkan kekurangajaran saya.
Tangan saya mulai menyelinap ke balik pakaiannya. Saya kembali meremas-remas
payudaranya. Kali ini langsung menyentuh permukaan kulitnya. Saya lakukan
sambil mencium lehernya dengan lembut. Suara desahan lembut mulai terdengar
dari bibirnya, disaat saya menyelipkan tangan saya ke balik celana dalamnya.
Ada sedikit rasa ragu ketika meraba bibir kemaluannya secara langsung.
Saya kumpulkan segenap keberanian saya yang tersisa. Jari
tengah saya, saya tekan sedikit demi sedikit dan perlahan ke belahan
kemaluannya. Saat itulah dia tersentak dan menahan tangan saya. Dia menatap
mata saya.
“Jangan dimasukkan ya Mas”, katanya.
Saya hanya tersenyum dan mengangguk. Serta merta dia mencium
bibir saya. Sementara jari saya masih mengelus-elus bibir kemaluannya. Lendir
yang membasahi dinding vagina perawan nya, mulai merembes hingga ke bibir
kemaluannya.
Saya mencoba untuk memintanya untuk menyentuh dan memegang
kemaluan saya. Ternyata dia tidak menolak. Terlihat jelas di raut mukanya, dia
sedikit gugup ketika membuka resleting celana saya. Dan seakan malu memandang
wajah saya ketika dia mulai menggenggam kemaluan saya. Untuk mengurangi
ketegangannya saya mencium bibirnya.
Selama lebih dari setengah jam kami hanya berani melakukan
itu-itu saja. Kemudian saya beranikan diri untuk mengajakknya menanggalkan
semua pakaian. Dia terlihat ragu, dan hanya menunduk. Mungkin dia ingin menolak
tapi takut membuat saya kecewa.
“Kamu bener berani tanggung jawab”, katanya lagi.
Saya terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. Padahal dalam
hati, saya bertanya-tanya, benarkah saya mampu bertanggungjawab ? Dia
menanyakannya sekali lagi. Dan saya mengiyakannya untuk kedua kalinya. Diapun
mulai melepaskan kancing bajunya. Ketika saya membantunya, dia menolak.
“Biar aku sendiri saja. Kamu lepas baju kamu.”, sahutnya.
Saya menurut saja. Dan tak lama kemudian, tak ada selembar
benang pun pada tubuh kami. Telanjang bulat, walaupun dia masih menutupi
payudaranya dengan tangan dan menyilangkan pahanya untuk menutupi kemaluannya.
Saya memeluknya sambil berusaha menurunkan tangannya.
Dia menurut, saat saya kembali meremas payudaranya dengan
lembut. Kali ini tanpa diminta dia mau memegang kemaluan saya sambil
mengelus-elusnya. Entah karena terangsang atau karena saya mengatakan mau
bertanggungjawab tadi, dia menuntun tangan saya untuk mengelus selangkangannya.
Agar dia tidak merasa malu, saya terus mencumbunya. Dia
menikmatinya sambil menekan jari saya ke bibir kemaluannya, yang saya rasakan
semakin basah oleh lendir. Dia kemudian merebahkan tubuhnya. Dan saya pun
merebahkan tubuh saya di atas tubuhnya. Kami kembali bercumbu. Kali ini sedikit
lebih liar.
Suara desahan terdengar lebih nyaring daripada sebelumnya,
ketika saya mencubit clitorisnya. Saya sudah tidak tahan lagi, saya mencoba
“minta ijin” padanya untuk berbuat lebih jauh. Dia mengangguk sambil sedikit
meregangkan belahan pahanya.
Setelah “mendapatkan ijin”, saya mencoba memasukkan kemaluan
saya ke liang vagina perawan nya. Tapi sulitnya luar biasa. Berkali-kali saya
coba, tetapi belahan itu seakan-akan direkatkan oleh lem yang kuat. Ujung
kemaluan saya sampai sakit rasanya.
Dan dia pun meringis kesakitan, sambil sesekali memekik
kecil, “Aduh. aduh”. Saya sedikit tidak tega juga. Saya hentikan sejenak usaha
saya itu, sambil kembali mengelus bibir kemaluannya, agar sakitnya sedikit
berkurang.
“Masih sakit ?”, tanya saya.
“Udah nggak begitu sakit.”, jawabnya.
Saya mencobanya lagi. Kali ini saya minta dia membuka bibir
vagina perawan nya lebih lebar. Alamak, masih susah juga. Padahal kata
teman-teman saya yang sudah sering berhubungan sex, kalau sudah basah pasti
gampang.
Kenyataannya ujung kemaluan saya sampai sakit gara-gara saya
paksa masuk. Saya hampir putus asa. Kemaluan saya mulai lemas lagi karena saya
menjadi kurang konsentrasi. Tiba-tiba saya teringat bahwa saya pernah baca di
majalah, ada jenis selaput dara yang sangat elastis dan relatif lebih tebal
daripada yang normal.
Kepercayaan diri saya mulai timbul lagi. Saya “mengusulkan”
padanya, pakai jari saja dulu. Maksud saya supaya agak lebar lubangnya. Dia
setuju saja. Walaupun saya sadar selaput dara itu justru akan robek karena jari
saya, bukan karena kemaluan saya, cara itu tetap saya lakukan. Dari pada kami
(terutama dia) kesakitan, lebih baik begini.
Mulanya saya hanya menggunakan jari kelingking. Dia hanya
mendesah sambil menggigit bibirnya. Kemudian saya lakukan dengan jari tengah,
sambil menggerakkannya naik turun. Dia masih hanya mendesah.
Kemudian saya masukkan jari tengah dan telunjuk ke liang
vagina perawan nya. Dia menjerit halus sambil menahan tangan saya agar tidak
masuk lebih dalam. Setelah dia melepaskan tangannya baru saya lanjutkan lagi
dengan sangat perlahan.
Setelah yakin sudah cukup, saya mencoba kembali memasukkan
kemaluan saya ke liang vagina perawan nya. Saya menyibakkan bibir vagina
perawan nya sementara dia mengarahkan kemaluan saya. Memang sedikit lebih mudah
sekarang. Tapi tetap saja dia merintih kesakitan. Saya pun masih merasakan
sakit. Kemaluan saya seperti diperas dengan sangat keras.
Setiap kali merasakan sakit (dan mungkin perih), dia menahan
“laju” masuknya kemaluan saya. Saya pun hanya berani melakukannya dengan sangat
amat perlahan. Hati saya benar-benar sangat tidak tega melihatnya merintih
kesakitan. Tapi pada akhirnya kemaluan saya bisa masuk seluruhnya.
Saat pertama kali berhasil masuk, saya belum berani
menariknya kembali. Kami hanya berciuman saja, supaya rasa sakit itu reda
dahulu. Setelah itu baru saya berani menggerakkan pinggul saya maju mundur,
tapi masih sangat pelan. Sementara tangannya tampak memegang erat ujung bantal,
sambil terpejam dan mengigit bibirnya.
Setelah beberapa lama, kami berganti posisi. Kali ini saya
berada di bawah, sementara dia duduk di atas saya. Dia saya minta menggerakan
pinggulnya naik turun. Dia hanya beberapa kali melakukannya. Dan berkata, “Aku
nggak bisa”, sambil berguling ke samping saya. Saya memeluknya dan mengelus
rambutnya serta mencium keningnya.
Kemudian kembali merapatkan tubuh saya ke atas tubuhnya.
Saya memasukkan kembali kemaluan saya ke liang vagina perawan nya. Kali ini
gampang sekali. Di dorong sedikit langsung bisa masuk. Dan dia pun tidak lagi
merintih kesakitan. Hanya mendesah halus.
Saya kembali menggerakkan pinggul saya maju mundur. Saya
coba lebih cepat. Rasanya licin sekali. Saya merasakan diantara kemaluan kami
sangat basah oleh lendir bercampur keringat. Saya terus melakukannya sambil
mencium bibirnya.
Kali ini dia lebih erotis. Dia sangat suka menghisap-hisap lidah
saya, yang sengaja saya julurkan ke dalam mulutnya. Sementara tangannya tak
henti-hentinya mengelus punggung dan pantat saya. Sesekali saya jilati puting
susunya dengan lidah saya. Namun dia lebih suka kalau saya menghisap putingnya
itu. Sebenarnya saat itu saya kurang berkonsentrasi.
Pikiran saya masih terbagi. Saya masih berpikir agar tidak
membuat dia kesakitan. Mungkin karena itu saya bisa bertahan agak lama. Kalau
tidak mungkin saya sudah mengalami ejakulasi.
Setelah cukup lama, tiba-tiba dia menyentakkan pinggulnya ke
atas sambil menekan pantat saya. Saya tidak tahu apakah saat itu dia mengalami
orgasme atau tidak. Tapi yang jelas dia menahan posisi itu cukup lama. Setelah
itu dia bilang bahwa dia capek.
Saya pun mengerti, dan walaupun belum mengalami ejakulasi,
saya mengeluarkan kemaluan saya dari liang vagina perawan nya, dan tidur
terlentang di sampingnya. Sekilas saya lihat, di bibir kemaluannya ada lendir
putih yang ketika saya pegang terasa kental dan lengket, namun tidak kesat
seperti halnya sperma.
Sepertinya dia tahu kalau saya belum puas (yah namanya juga
kurang konsentrasi). Dia duduk di sebelah saya sambil kemudian menggenggam
kemaluan saya. Perlahan-lahan dia menggerakan tangannya naik turun.
Saya sangat menikmati perlakuannya ini. Payudaranya kembali
saya elus-elus. Sesekali saya permainkan putingnya denga jari. Kali ini saya
tidak bisa bertahan lama. Ketika gerakan tangannya semakin cepat, saya
merasakan geli yang luar biasa di ujung kemaluan saya. Dan saya pun akhirnya
mengalami ejakulasi. Dia menampung sperma saya dengan telapak tangannya.
Kemudian membersihkan sisanya dengan tissue. Setelah mencuci
tangan serta kamaluannya, dia kembali ke kamar dan mencium saya. Dia kemudian
merebahkan kepalanya di dada saya. Sementara saya mengelus-elus rambutnya.
Saat membenahi kamar sebelum mengantarnya pulang, pandangan
saya tertuju pada bekas tissue yang sebagian juga digunakan untuk membersihkan
sisa lendir kemaluannya. Terlihat bercak-bercak merah tanda perawan pada
beberapa lembar tissue. Tapi tidak banyak.
Saya memandangnya dan bertanya, “Masih berdarah nggak ?”
Dia menggeleng, dan menjawab, “Sudah nggak lagi, tadi sudah
aku cuci.”
Setelah itu saya mengantar dia pulang. Kalau tidak salah
waktu itu sudah sekitar jam sembilan malam. Saat perjalanan kembali pulang,
saya berpikir. Dia sudah mengorbankan miliknya yang paling berharga kepada
saya. Dia berkorban karena dia percaya pada saya.
Belum pernah dalam hidup saya, ada orang yang sebegitu
percayanya pada saya. Bahkan jauh melebihi kepercayaan orang tua saya, yang
lebih sering memberikan uang belaka daripada sebuah kepercayaan yang tulus.
Kepercayaan yang diberikannya adalah pemberian yang tak ternilai harganya.
Saya berharap kebersamaan kami dapat terjalin selamanya
karena saya telah mendapatkan vagina perawan miliknya.
Post a Comment