Cerita Seks Bercinta Dengan Putri Tanteku
Cerita Seks Bercinta Dengan Putri Tanteku
![]() |
Cerita Seks Bercinta Dengan Putri Tanteku |
Berita Terkini - Hana masih seperti dulu, kulitnya yang putih, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang lebat tumbuh terjaga selalu di atas bahu. Meski rambutnya agak kemerahan namun karena kulitnya yang putih bersih, selalu saja menarikdipandang, apalagi kalau berada dalam pelukan dan dielus-elus. Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Hana.
Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang
lincah, terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah,
isteriku melahirkan anak kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan saling
mencintai. Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu
melahirkan, isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah
sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat bayi di
rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Hana) serta Hana
dengan suka rela bergiliran membantu kerepotan kami. Semua berlalu selamat
sampai isteriku diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat dan menyusui
anak kami.
Hari-hari berikutnya, Hana masih sering datang menengok anak
kami yang katanya cantik dan lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat
dengan Hana. Kalau sedang rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Hana
menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan Hana. Sepulang kuliah,
kalau ada waktu, Hana selalu mampir dan membantu isteriku merawat si kecil.
Lama-lama Hana sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas
bantuan Hana. Tampaknya Hana tulus dan ikhlas membantu kami. Apalagi aku harus
kerja sepenuh hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi kami
berkurang nakalnya. Hana mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga
semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika
aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor, Hana tiba-tiba muncul.
“Ada apa Na, malam-malam begini.”
“Mas Dani, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Hana mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Hana
terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau
parfum khas remaja.
“Ada apa, Hana?”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Hana tidak menjawab tetapi malah
melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam
sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Hana, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara,
Hana sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir
yang selama ini hanya dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat
keras. Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya
dipermainkan cepat dan menari lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku
dan menyedotnya kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi
menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah
berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku. Hana merenggangkan
pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan
dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu
beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan
laki-laki yang pas.”
Kuangkat tubuh Hana dan kududukkan di atas kertas yang masih
berserakan di atas meja kerja. Aku bangkit dari duduk dan melangkah ke arah
pintu ruang kerjaku. Aku mengunci dan menutup kelambu ruangan.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak
bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Hana sambil turun
dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk
sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula penisku yang telah mengeras
berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut. Hana merapatkan pula
perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Hana kembali
menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis
terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu
menyambut keliaran Hana. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh
tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu amat bergairah, Hana..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama.. ukh..” serunya
sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Hana sembari tangannya menjelajah dan
mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher,
dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik
perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Hana telah diangkat tanda meminta
T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku
langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Hana lekat ke dadaku. Kedua bukitnya
menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari kancing BH yang
terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya, kuturunkan melalui
tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel
lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh
gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Hana,
namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Hana mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku
agar mulutku segera menyedot putingnya. “Sedot kuat-kuat Mas, sedoott..”
bisiknya. Aku memenuhi permintaannya dan Hana tak kuasa menahan kedua kakinya.
Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang ber-AC
itu terasa makin hangat. “Mas lepas..” katanya sambil telentang di lantai. Hana
meminta aku melepas pakaian. Hana sendiri pun melepas rok dan celana dalamnya.
Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam. Hana melihat
dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu. Segera aku menyusulnya,
tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping sembari kugosokkan
telapak tanganku ke arah putingnya. Hana melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan
tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera mengarahkan putingnya ke mulutku.
“Mas sedot Mas.. teruskan, enak sekali Mas.. enak..”
Kupenuhi permintaannya sembari kupijat-pijat pantatnya. Tanganku mulai nakal
mencari selangkangan Hana. Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup
mantap untuk mendaratkan pesawat “cocorde” milikku. Kumainkan jemariku di sana
dan Hana tampak sedikit tersentak. “Ukh.. khmem.. hss.. terus.. terus,”
lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya kugencarkan, jemari
tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat kenikmatannya. Terasa jemari kanan
tengahku telah mencapai gumpalan kecil daging di dinding atas depan vaginanya,
ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku memainkan puting sembari sesekali
menyedot dan menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Hana dengan teknik petik
melodi.
Hana menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat.
“Mas.. Mas.. ampun.. terus, ampun.. terus ukhh..” Sebentar kemudian Hana lemas.
Namun itu tidak berlangsung lama karena Hana kembali bernafsu dan berbalik
mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan agar
gampang dijangkau, dengan serta merta Hana menarik celana dalamku. Bersamaan
dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan Tari. Akibatnya, memukul ke arah
wajah Hana. “Uh.. Mas.. apaan ini,” kata Hana kaget. Tanpa menunggu jawabanku,
tangan Hana langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan
mengelus penisku.
“Mas.. ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Hana geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke
arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit
agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot
keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir.
Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan
tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang
ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Hana langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat
menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Hana menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya.
Terlihat betapa mulus putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya,
terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya.
Exocet-ku telah siap meluncur. Hana memandangiku penuh harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Hana. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Hana tak sabar. Belum pernah kulihat
perempuan sekasar Hana. Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis
pasangannya. “Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan
ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat
sulit masuk, kuangkat kembali namun Hana justru mendorongkan pantatku dengan
kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas. Tak
terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Hana
tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan
penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya,
namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit. Hana tidak gentar,
malah menyongsongnya penuh gairah.
“Jangan paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa.. tusuk aku. Keras.. keras
jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga
separuh penisku telah masuk. Hana menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku
menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari dalam
vagina Hana, meleleh keluar. Aku melirik, darah.. darah segar. Hana diam.
Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan penisku tetap menancap.
Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya, kucari ujung
puting Hana dengan mulutku. Meski agak membungkuk, aku dapat mencapainya. Hana
sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas.
Kugerakkan penisku yang hanya separuh jalan, turun naik dan Hana mulai tampak
menikmatinya. Pergerakan konstan itu kupertahankan cukup lama. Makin lama
tusukanku makin dalam. Hana pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia menikmati irama
keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan mengalirkan cairan
pelicin. Hana mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan melenguh dan pada
akhirnya menjerit lirih, “Uuuhh.. Mas.. uhh.. enaakk.. enaakk.. Terus.. aduh..
ya ampun enaknya..” Hana melemas dan terkulai. Kucabut penisku yang masih
keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku duduk di samping Hana yang terkulai.
“Hana, kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Hana memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum
ada yang berhasil menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal.
Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh garangnya Hana mengajak
senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak kejadian itu, Hana selalu ingin mengulanginya. Namun
aku selalu menghindar. Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel
sepanjang hari. Hana waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan segala
gaya. Hana mengaku puas.
Setelah lulus, Hana menikah dan tinggal di Palembang. Sejak
itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang ke Yogya bersama anaknya, aku
berjumpa di rumah bude.
“Mas Dani, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap.
Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Dani, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Hana pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami
sama-sama terpuaskan
Post a Comment