Cerita Seks Aku Selingkuh Dengan Iparku Mbak Raya
Cerita Seks Aku Selingkuh Dengan Iparku Mbak Raya
![]() |
Cerita Seks Aku Selingkuh Dengan Iparku Mbak Raya |
Liputan Berita Terkini - Saya seorang pria berumur 40 tahun. Istri saya satu tahun lebih muda dari saya. Secara keseluruhan kami keluarga bahagia dengan dua anak yang manis-manis. Yang sulung, perempuan kelas II SMP (Nisa) dan bungsu laki-laki kelas 3 SD. Saya bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Sedangkan istri saya seorang wanita karier yang sukses di bidang farmasi. Kini dia menjabat sebagai Distric Manager. Kami saling mencintai. Dia merupakan seorang istri yang setia. Saya sendiri pada dasarnya suami yang setia pula. Paling tidak saya setia terhadap perasaan cinta saya kepada istri saya. Tapi tidak untuk soal seks. Saya seorang peselingkuh. Ini semua karena saya memiliki libido yang amat tinggi sementara istri saya tidak cukup punya minat di bidang seks. Saya menginginkan hubungan paling tidak dua kali dalam seminggu. Tetapi istri saya menganggap sekali dalam seminggu sudah berlebihan.
Dia pernah bilang kepada saya, “Lebih enak hubungan sekali
dalam sebulan.”
Tiap kali hubungan kami mencapai orgasme bersama-sama. Jadi
sebenarnya tidak ada masalah dengan saya.
Rendahnya minat istri saya itu dikarenakan dia terlalu
terkuras tenaga dan pikirannya untuk urusan kantor. Dia berangkat ke kantor
pukul 07.30 dan pulang lepas Maghrib. Sampai di rumah sudah lesu dan sekitar
pukul 20.00 dia sudah terlelap, meninggalkan saya kekeringan. Kalau sudah
begitu biasanya saya melakukan onani. Tentu tanpa sepengetahuan dia, karena
malu kalau ketahuan.
Selama perkawinan kami sudah tak terhitung berapa kali saya
berselingkuh. Kalau istri saya tahu, saya tak bisa membayangkan akan seperti
apa neraka yang diciptakannya. Bukan apa-apa. Perempuan-perempuan yang saya
tiduri adalah mereka yang sangat dekat dengan dia. Saya menyimpan rapat rahasia
itu. Sampai kini. Itu karena saya melakukan persetubuhan hanya sekali terhadap
seorang perempuan yang sama. Saya tak mau mengulanginya. Saya khawatir,
pengulangan bakal melibatkan perasaan. Padahal yang saya inginkan cuma
persetubuhan fisik. Bukan hati dan perasaan. Saya berusaha mengindarinya sebisa
mungkin, dan memberi kesan kepada si perempuan bahwa semua yang terjadi adalah
kekeliruan. Memang ada beberapa perempuan sebagai perkecualian yang nanti akan
saya ceritakan.
Perempuan pertama yang saya tiduri semenjak menikah tidak
lain adalah kakak istri saya. Oh ya, istri saya merupakan anak ketiga dari lima
bersaudara. Semuanya perempuan. Istri saya sebut saja bernama Yeni. Kedua kakak
Yeni sudah menikah dan punya anak. Mereka keluarga bahagia semuanya, dan telah
memiliki tempat tinggal masing-masing. Hanya saya dan istri yang ikut mertua
dua tahun pertama perkawinan kami. Setiap minggu keluarga besar istri saya
berkumpul. Mereka keluarga yang hangat dan saling menyayangi.
Mbak Raya, kakak istri saya ini adalah seorang perempuan
yang dominan. Dia terlihat sangat menguasai suaminya. Saya sering melihat Mbak Raya
menghardik suaminya yang berpenampilan culun. Suami Mbak Raya sering
berkeluh-kesah dengan saya tentang sikap istrinya. Tetapi kepada orang lain
Mbak Raya sangat ramah, termasuk kepada saya. Dia bahkan sangat baik. Mbak Raya
sering datang bersama kedua anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya -yang
artinya rumah saya juga- tanpa suaminya.
Kadang-kadang sebagai basa-basi saya bertanya, “Kenapa Mas
Wid tidak diajak?”
“Ahh malas saya ngajak dia,” jawabnya.
Saya tak pernah bertanya lebih jauh.
Seringkali saat Mbak Raya datang dan menginap, pas istri
saya sedang tugas luar kota. Istri saya dua minggu sekali keluar kota saat itu.
Dia adalah seorang detailer yang gigih dan ambisius. Jika sudah demikian
biasanya ibu mertua saya yang menyiapkan kopi buat saya, atau makan pagi dan
makan malam. Tapi jika pas ada Mbak Raya, ya si Mbak inilah yang menggantikan
tugas ibu mertua. Tak jarang Mbak Raya menemani saya makan.
Karena seringnya bertemu, maka saya pun mulai dirasuki
pikiran kotor. Saya sering membayangkan bisa tidur dengan Mbak Raya. Tapi
mustahil. Mbak Raya tidak menunjukkan tipe perempuan yang gampang diajak tidur.
Karenanya saya hanya bisa membayangkannya. Apalagi kalau pas hasrat menggejolak
sementara istri saya up country. Aduhh, tersiksa sekali rasanya. Dan sore itu,
sehabis mandi keramas saya mengeringkan rambut dengan kipas angin di dalam
kamar. Saya hanya bercelana dalam ketika Mbak Raya mendadak membuka pintu.
“Kopinya Dik Irwan.”
Saya terkejut, dan Mbak Raya buru-buru menutup pintu ketika
melihat sebelah tangan saya berada di dalam celana dalam, sementara satu tangan
lain mengibas-ibas rambut di depan kipas angin. Saya malu awalnya. Tetapi kemudian
berpikir, apa yang terjadi seandainya Mbak Raya melihat saya bugil ketika penis
saya sedang tegang?
Pikiran itu terus mengusik saya. Peristiwa membuka pintu
kamar dengan mendadak bukan hal yang tidak mungkin. Adik-adik dan kakak-kakak
istri saya memang terbiasa begitu. Mereka sepertinya tidak menganggap masalah.
Seolah kamar kami adalah kamar mereka juga. Adik istri saya yang bungsu (masih
kelas II SMU, sebut saja Rosi) bahkan pernah menyerobot masuk begitu saja
ketika saya sedang bergumul dengan istri saya. Untung saat itu kami tidak
sedang bugil. Tapi dia sendiri yang malu, dan berhari-hari meledek kami.
Sejak peristiwa Mbak Raya membuka pintu itu, saya jadi
sering memasang diri, tiduran di dalam kamar dengan hanya bercelana dalam
sambil coli (onani). Saya hanya ingin menjaga supaya penis saya tegang, dan
berharap saat itu Mbak Raya masuk. Saya rebahan sambil membaca majalah.
Sialnya, yang saya incar tidak pernah datang. Sekali waktu malah si Rosi yang
masuk buat meminjam lipstik istri saya. Ini memang sudah biasa. Buru-buru saya
tutupkan CD saya. Tapi rupanya mata Rosi keburu melihat.
“Woww, indahnya.”
Dia tampak cengengesan sambil memolesi bibirnya dengan
gincu.
“Mau kemana?” tanya saya.
“Nggak. Pengin makai lipstik aja.”
Saya meneruskan membaca.
“Coli ya Mas?” katanya.
Gadis ini memang manja, dan sangat terbuka dengan saya.
Ketika saya masih berpacaran dengan istri saya, kemanjaannya bahkan luar biasa.
Tak jarang kalau saya datang dia menggelendot di punggung saya. Tentu saya tak
punya pikiran apa-apa. Dia kan masih kecil waktu itu. Tapi sekarang. Ahh.
Tiba-tiba saya memperhatikannya. Dia sudah dewasa. Sudah seksi. Teteknya 34.
Pinggang ramping, kulit bersih. Dia yang paling cantik di antara saudara istri
saya.
Pikiran saya mulai kotor. Menurut saya, akan lebih mudah
sebenarnya menjebak Rosi daripada Mbak Raya. Rosi lebih terbuka, lebih manja.
Kalau cuma mencium pipi dan mengecup bibir sedikit, bukan hal yang sulit. Dulu
saya sering mengecup pipinya. Tapi sejak dia kelihatan sudah dewasa, saya tak lagi
melakukannya. Akhirnya sasaran jebakan saya beralih ke Rosi. Saya mencoba
melupakan Mbak Raya.
Sore selepas mandi saya rebahan di tempat tidur, dan kembali
memasang jebakan untuk Rosi. Saya berbulat hati untuk memancing dia. Ini hari
terakhir istri saya up country. Artinya besok di kamar ini sudah ada istri
saya. Saya elus perlahan-lahan penis saya hingga berdiri tegak. Saya tidak
membaca majalah. Saya seolah sedang onani. Saya pejamkan mata saya. Beberapa
menit kemudian saya dengar pintu kamar berderit lembut. Ada yang membuka. Saya
diam saja seolah sedang keasyikan onani. Tidak ada tanggapan. Saya melihat
pintu dengan sudut mata yang terpicing. Sialan. Tak ada orang sama sekali.
Mungkin si Rosi langsung kabur. Saya hampir saja menghentikan onani saya ketika
dari mata yang hampir tertutup saya lihat bayangan. Segera saya mengelus-elus
penis saya dengan agak cepat dan badan bergerak-gerak kecil. Saya mencoba
mengerling di antara picingan mata. Astaga! Kepala Mbak Raya di ambang pintu.
Tapi kemudian bayangan itu lenyap. Lalu muncul lagi, hilang lagi, Kini tahulah
saya, Mbak Raya sembunyi-sembunyi melihat saya. Beberapa saat kemudian pintu
ditutup, dan tak dibuka kembali sampai saya menghentikan onani saya. Tanpa mani
keluar.
Malamnya, di meja makan kami makan bersama-sama. Saya, kedua
mertua, Mbak Raya, Rosi dan kakak Rosi, Rayang. Berkali-kali saya merasakan
Mbak Raya memperhatikan saya. Saya berdebar-debar membayangkan apa yang ada di
pikiran Mbak Raya. Saya sengaja memperlambat makan saya. Dan ternyata Mbak Raya
pun demikian. Sehingga sampai semua beranjak dari meja makan, tinggal kami
berdua. Selesai makan kami tidak segera berlalu. Piring-piring kotor dan
makanan telah dibereskan Mak Jah, pembantu kami.
“Dik Irwan kesepian ya? Suka begitu kalau kesepian?” Mbak Raya
mebuka suara.
Saya kaget. Dia duduk persis di kanan saya. Dia memandangi
saya. Matanya seakan jatuh kasihan kepada saya. Sialan.
“Maksud Mbak May apaan sih?” saya pura-pura tidak tahu.
“Tadi Mbak May lihat Dik Irwan ngapain di kamar. Sampai Dik Irwan
nggak liat. Kalau sedang gitu, kunci pintunya. Kalau Rosi atau Ibu lihat
gimana?”
“Apaan sih?” saya tetap pura-pura tidak mengerti.
“Tadi onani kan?”
“Ohh.” Saya berpura-pura malu.
Perasaan saya senang bercampur gugup, menunggu reaksi Mbak Raya.
Saya menghela nafas panjang. Sengaja.
“Yahh, Yeni sudah tiga hari keluar kota. Pikiran saya sedang
kotor. Jadi..”
“Besok lagi kalau Yeni mau keluar kota, kamu minta jatah
dulu.”
“Ahh Mbak May ini. Susah Mbak nunggu moodnya si Yeni. Kadang
pas saya lagi pengin dia sudah kecapekan.”
“Tapi itu kan kewajiban dia melayani kamu?”
“Saya tidak ingin dia melakukan dengan terpaksa.”
Kami sama-sama diam. Saya terus menunggu. Menunggu. Jantung
saya berdegup keras.
“Kamu sering swalayan gitu?”
“Yaa sering Mbak. Kalau pengin, terus Yeni nggak mau, ya
saya swalayan. Ahh udah aahh. Kok ngomongin gitu?”
Saya pura-pura ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi Mbak Raya
tidak peduli.
“Gini lho Dik. Masalahnya, itu tidak sehat untuk perkawinan
kalian. Kamu harus berbicara dengan Yeni. Masa sudah punya istri masih
swalayan.”
Mbak Raya memegang punggung tangan saya.
“Maaf Mbak. Nafsu saya besar. Sebaliknya dengan Yeni. Jadi
kayaknya saya yang mesti mengikuti kondisi dia.” Kali ini saya bicara jujur.
“Saya cukup puas bisa melayani diri sendiri kok.”
“Kasihan kamu.”
Mbak Raya menyentuh ujung rambut saya, dan disibakkannya ke
belakang. Saya memberanikan diri menangkap tangan itu, dan menciumnya selintas.
Mbak Raya seperti kaget, dan buru-buru menariknya.
“Kapan kalian terakhir kumpul?”
“Dua atau tiga minggu lalu,” jawab saya.
Bohong besar. Mbak Raya mendesis kaget.
“Ya ampuun.”
“Mbak. Tapi Mbak jangan bilang apa-apa ke Yeni. Nanti salah
pengertian. Dikira saya mengadu soal begituan.”
Mbak Raya kembali menggenggam tangan saya. Erat, dan
meremasnya. Isi celana saya mulai bergerak-gerak. Kali ini saya yang menarik
tangan saya dari genggaman Mbak Raya. Tapi Mbak Raya menahannya. Saya menarik
lagi. Bukan apa-apa. Kali ini saya takut nanti dilihat orang lain.
“Saya horny kalau Mbak pegang terus.”
Mbak Raya tertawa kecil dan melepaskan tangan saya. Dia
beranjak sambil mengucek-ucek rambut saya.
“Kaciaann ipar Mbak satu ini.”
Mbak Raya berlalu, menuju ruang keluarga.
“Liat TV aja yuk,” ajaknya.
Saya memaki dalam hati. Kurang ajar betul. Dibilang saya
horny malah cengengesan, bukannya bilang, “Saya juga nih, Dik.” Setengah
jengkel saya mengikutinya. Di ruang keluarga semua kumpul kecuali Rosi. Hanya
sebentar. Saya masuk ke kamar.
Sekitar pukul 23.00 pintu kamar saya berderit. Saya menoleh.
Mbak Raya. Dia menempelkan telunjuknya di bibirnya.
“Belum bobo?” tanyanya lirih. Jantung saya berdenyut keras.
“Belum.” Jawab saya.
“Kita ngobrol di luar yuk?”
“Di sini saja Mbak.” Saya seperti mendapat inspirasi.
“Ihh. Di teras aja. Udah ngantuk belum?”
Mbak Raya segera menghilang. Dengan hanya bersarung
telanjang dada dan CD saya mengikuti Mbak Raya ke teras. Saya memang terbiasa
tidur bertelanjang dada dan bersarung. Rumah telah senyap. TV telah dimatikan.
Keluarga ini memang terbiasa tidur sebelum jam 22.00. Hanya aku yang betah
melek.
Mbak Raya mengenakan daster tanpa lengan. Ujung atas hanya
berupa seutas tali tipis. Daster kuning yang agak ketat. Saya kini
memperhatikan betul lekuk tubuh perempuan yang berjalan di depan saya itu.
Pantat menonjol. Singset. Kulitnya paling putih di antara semua sadaranya.
Umurnya berselisih tiga tahun dengan Yeni.
Mbak Raya duduk di bangku teras yang gelap. Bangku ini dulu
sering saya gunakan bercumbu dengan Yeni. Wajah Mbak Raya hanya terlihat
samar-samar oleh cahaya lampu TL 10 watt milik tetangga sebelah. Itupun
terhalang oleh daun-daun angsana yang rimbun.
Dia memberi tempat kepada saya. Kami duduk hampir
berhimpitan. Saya memang sengaja. Ketika dia mencoba menggeser sedikit menjauh,
perlahan-lahan saya mendekakan diri.
“Dik Irwan” Mbak Raya membuka percakapan.
“Nasib kamu itu sebenernya tak jauh beda dengan Mbak.”
Saya mengernyitkan dahi. Menunggu Mbak Raya menjelaskan.
Tapi perempuan itu diam saja. tangannya memilin-milin ujung rambut.
“Maksud Mbak apa sih?”
“Tidak bahagia dalam urusan tempat tidur. Ih. Gimana sih.”
Mbak Raya mencubit paha saya. Saya mengaduh. Memang sakit,
Tapi saya senang. Perlahan-lahan penis saya bergerak.
“Kok bisa?”
“Nggak tahu tuh. Mas Wib itu loyo abis.”
“Impoten?” Saya agak kaget.
“Ya enggak sih. Tapi susah diajakin. Banyak nolaknya. Malas
saya. Perempuan kok dibegituin,”
“Hihihi.. Tadi kok kasih nasihat ke saya?”
Saya tersenyum kecil. Mbak Raya mencoba mendaratkan lagi
cubitannya. Tapi saya lebih sigap. Saya tangkap tangan itu, dan saya amankan
dalam genggaman. Saya mulai berani. Saya remas tangan Mbak Raya. Penis saya
terasa menegang. Badan mulai panas dingin. Mungkinkan malam ini saya dan Mbak Raya..
“Terus cara pelampiasan Mbak gimana? Swalayan juga?” Tanya
saya.
Saya taruh sebelah tangan di atas pahanya. Mbak Raya mencoba
menghindar, tapi tak jadi.
“Enggak dong. Malu. Risih. Ya ditahan aja.”
“Kapan terakhir Mbak Raya tidur sama Mas Wib?”
Saya mencium punggung tangan Mbak Raya. Lalu tangan itu saya
taruh perlahan-lahan di antara pahaku, sedikit menyentuh penis.
“Dua minggu lalu.”
“Heh?” Saya menatap matanya. Bener enggak sih. Kok
jawabannya sama dengan saya? Ngeledek apa gimana nih.
“Bener.” Matanya mengerling ke bawah, melihat sesuatu di
dekat tangannya yang kugenggam.
“Mbak..” Saya menyusun kekuatan untuk berbicara. Tenggorokan
terasa kering. Nafsu saya mulai naik. Perempuan ini bener-bener seperti
merpati. Jangan-jangan hanya jinak ketika didekati. Saat dipegang dia kabur.
“Hm,” Mbak Raya menatap mata saya.
“Mbak pengin?”
Dia tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Saya raih pundaknya.
Saya elus rambutnya. Saya sentuh pipinya. Dia diam saja. Sejurus kemudian mulut
kami berpagutan. Lama. Ciuman yang bergairah. Saya remas bagian dadanya. Lalu
tali sebelah dasternya saya tarik dan terlepas. Mbak Raya merintih ketika jari
saya menyentuh belahan dadanya. Secara spontan tangan kirinya yang sejak tadi
di pangkuan saya menggapai apa saja. Dan yang tertangkap adalah penis. Dia
meremasnya. Saya menggesek-gesekkan jari saya di dadanya. Kami kembali
berciuman.
“Di kamar aja yuk Mbak?” ajak saya.
Lalu kami beranjak. Setengah berjingkat-jingkat menuju kamar
Mbak Raya. Kamar ini terletak bersebarangan dengan kamar saya. Di sebelah kamar
Mbak Raya adalah kamar mertua saya.
Malam itu tumpahlah segalanya. Kami bermain dengan hebatnya.
Berkali-kali. Ini adalah perselingkuhan saya yang pertama sejak saya kawin.
Belakangan saya tahu, itu juga perselingkuhan pertama Mbak Raya. Sebelum itu
tak terbetik pikiran untuk selingkuh, apalagi tidur dengan laki-laki lain
selain Mas Wib.
Bermacam gaya kami lakukan. Termasuk oral, dan sebuah
sedotan kuat menjelang saya orgasme. Semprotan mani menerjang tenggorokan Mbak Raya.
Itulah pertama kali mani saya diminum perempuan. Yeni pun tidak pernah. Tidak
mau. Jijik katanya. Menjelang pagi, saat tulang kami seperti dilolosi, saya
kembali ke kamar. Tidur.
Saya tidak berani mengulanginya lagi. Perasaan menyesal
tumpah-ruah ketika saya bertemu istri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan
Mbak Raya. Selepas itu dia mencoba menghindari pembicaraan yang menjurus ke
tempat tidur. Kami bersikap biasa-biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun.
Ketika tidur di samping istri saya, saya berjanji dalam hati
Tidak akan selingkuh lagi. Ternyata janji tinggal janji. Nafsu besar lebih
mengusik saya. Terutama saat istri saya ke luar kota dan keinginan bersetubuh
mendesak-desak dalam diri saya. Rasanya ingin mengulanginya dengan Mbak Raya.
Tapi tampaknya mustahil. Mbak Raya benar-benar tidak memberi kesempatan kepada
saya. Dia tidak lagi mau masuk kamar saya. Jika ada perlu di menyuruh Rosi,
atau berteriak di luar kamar, memanggil saya. Bahkan mulai jarang menginap.
Akhirnya saya kembali ke sasaran awal saya. Rosi. Mungkinkah
saya menyetubuhi adik istri saya? Uhh. Mustahil. Kalau hamil? Beda dengan Mbak Raya.
Kepada dia saya tidak ragu untuk mengeluarkan benih saya ke dalam rahimnya.
Kalaupun hamil, tak masalah kan. Paling-paling kalau anaknya lahir dan mirip
dengan saya yaa banyak cara untuk menepis tuduhan. Lagian masak sih pada
curiga?
Post a Comment