Cerita Seks Bercinta Dengan Tante Yensi Di Penginapan
Cerita Seks Bercinta Dengan Tante Yensi Di Penginapan
![]() |
Cerita Seks Bercinta Dengan Tante Yensi Di Penginapan |
Berita Terkini - Persahabatanku dengan Ronny begitu dekatnya dan secara kebetulan kami juga punya pengalaman pernah berhubungan intim dengan Tante Yensi, Bibi Ronny sendiri. Disini kubuka ceritaku dengan pengalaman Ronny terlebih dulu.
Sewaktu keluarga Tante Yensi pindah dari Yogya ke Jakarta, Ronny
keponakannya ikut dibawa untuk bersekolah di Jakarta dan di situlah aku mulanya
bergaul akrab dengan Ronny. Hubungan intim antara Ronny dengan tantenya,
berawal sejak mereka masih sama-sama di Yogya. Dari situ berlanjut secara
rahasia sampai kemudian dengan alasan ingin bersekolah di Jakarta, Ronny
kemudian ikut dengan keluarga Tante Yensi. Dan cerita bagaimana hubungan itu
terjadi yaitu ketika Ronny yang meningkat remaja selalu datang ke rumah
tantenya karena sekolahnya kebetulan jaraknya dekat dengan rumah tantenya itu.
Dia masih tinggal bersama orang tuanya tapi lama-lama mulai sering menginap di
rumah Tante Yensi di mana dia juga diberi kamar tersendiri oleh tantenya itu. Ronny
senang di situ karena selain tantenya, Paman Budi suami Yensi juga
menyayanginya sebagai anaknya sendiri.
Suatu kali suami Yensi mendapat tugas belajar selama dua
bulan oleh perusahaannya di kota lain dan hari itu sudah genap sebulan Tante Yensi
ditinggal oleh suaminya dengan ditemani Ronny yang kalau malam akan datang
menginap di rumahnya. Entah kebetulan atau apa namanya, malam itu Tante Yensi
ke luar kamarnya untuk pergi kencing, dia masuk kamar mandi menabrak Ronny yang
baru akan ke luar dari situ. Dia rupanya juga baru habis kencing tapi tidak
menyalakan lampu dan sedang akan menutup celananya ketika itu. Tante Yensi
kaget tapi segera mengenali Ronny.
“Astaga, Tante kira siapa.. kok nggak nyalain lampu sih?”
tegur Tante Yensi sambil langsung menghidupkan lampu kamar mandi.
Begitu susana jadi terang langsung terlihat Ronny
tersipu-sipu malu sedang kerepotan buru-buru akan menutup celananya. Tante Yensi
jadi geli dan terbit isengnya ingin menggoda Ronny.
“Lho apa tuh, kok buru-buru mau disembunyiin.” katanya
sambil menggoda malah melorotkan celana Ronny.
Tentu saja Ronny tambah merah mukanya tapi Tante Yensi juga
tambah senang mencandainya. Tidak tanggung-tanggung malah dijulurkan tangannya
ke penis Ronny.
“Ayo kok malu-malu banget sama Tante, coba sini Tante pegang
biar sekalian ilang malunya,” langsung disambar batang itu membuat Ronny tidak
bisa mengelak lagi.
“Sekarang Tante mau tanya, memangnya inimu udah bisa kenceng
sih? Kalo udah bisa kenceng baru boleh malu sama Tante,” lanjutnya tapi
genggaman tangannya dimainkan penis itu.
Ronny yang baru berusia 15 tahun ketika itu hanya mengangguk
dengan wajah masih merah malu, dia terpaksa diam saja dipermainkan oleh
tantenya. Dijawab begini Tante Yensi jadi pasang muka heran tidak percaya. “Ah
masak sih.. Tapi kamu tungguin Tante kencing sebentar, jangan kemana-mana ya?”
kata Tante Yensi melepas tangannya dan dia pun kencing sementara ditunggui Ronny
yang patuh tidak beranjak dari situ.
Keluar dari kamar mandi dengan menarik lengan Ronny, Tante Yensi
mengajak ke kamar tidur Ronny sendiri karena penasaran ingin membuktikan
jawaban Ronny tadi. Begitu masuk dan mengunci pintu dia langsung berbalik untuk
membawa anak muda itu berdiri di hadapannya sementara Tante Yensi sendiri duduk
di tepi tempat tidur.
“Coba buka dulu celananya, Tante pengen buktiin sendiri.” Ronny
menurut saja dan sebentar kemudian penisnya sudah dimainkan tantenya,
dilocok-locok untuk membuat jadi menegang. Dan ternyata seperti yang tadi
dijawab Ronny, penis anak muda ini rupanya bisa menegang bahkan bangun dengan
cepat sekali di dalam genggaman tangan Tante Yensi. Begitu terpandang penis
tegang dengan ukurannya yang lumayan besar ini, mata Tante Yensi langsung
bersinar kagum tapi seiring dengan itu mendadak timbul hasrat berahinya
membayangkan asyiknya jika bisa dipuasi batang muda ini. Maklum, karena
bersamaan saat itu suaminya sudah cukup lama pergi sehingga Tante Yensi yang
sedang kesepian dan dalam iseng-iseng seperti ini cepat sekali naik rasa
kepinginnya. Apalagi penis muda ini sudah langsung menampilkan bentuk keras
kakunya berbeda sekali dengan milik suaminya yang sudah mulai ogah-ogahan untuk
dibuat kencang.
“Wihh Ferr.. punyamu rupanya betul-betul bisa bangun.. Tante
kagum deh, abisnya hebat sih.”
“Hebat kenapa Tante?” tanya Ronny yang masih polos, sudah
mulai keluar suaranya.
“Iya, punyamu mantep gedenya mau ngalah-ngalahin Paman
punya.” jawab Tante Yensi membesarkan hati Ronny meskipun sebenarnya hampir
seukuran milik suaminya.
“Emang kenapa kalo gitu?” tanya lagi Ronny masih tetap belum
mengerti.
“Yang gini malah enak kalo dipake ke orang perempuan. Tapi,
ayo tidur aja sambil Tante temenin sebentar, soalnya masih kepengen pegang-pegangin
punyamu.”
Tante Yensi mematikan lampu dan mengajak Ronny untuk mulai
tidur, hanya saja jelas sulit bagi Ronny karena penisnya masih tetap
dipermainkan remasan tangan tantenya. Tapi sementara itu Yensi lebih sulit
lagi. Memegang-megang penis keras begini dalam suasana gelap gulita khayalannya
yang melayang membayangkan nikmatnya bersetubuh dengan penis ini membuat dia
semakin gelisah. Kepingin tapi juga ragu-ragu mengajaknya karena masih ada rasa
malu dalam hatinya untuk merayu keponakan yang masih polos ini. Tetapi, makin
ditekan perasaan itu makin menuntut juga berahinya yang sedang kesepian untuk
dapat penyaluran. Ada beberapa lama perasaannya bertarung antara kebutuhan dan
ketidakpantasan tapi akhirnya Tante Yensi menyerah pada tuntutan nafsunya.
“Ini kok nggak lemes-lemes sih barangnya?” tanyanya mulai
memancing.
“Abis Tante mainin gitu terus sih..”
“Ngg.. mau Tante bikinin supaya lemesnya nanti kerasa enak?”
dia mulai berlanjut.
Ronny menggangguk meskipun belum paham betul.
“Tapi kalo Tante bikinin, Ronny jangan sekali-sekali cerita
siapa-siapa, ya?” kata Tante Yensi sambil membuka celana dalamnya sendiri,
“Ayo, kamu naik ke sini nanti Tante yang ajarin.” lanjutnya mengajak Ronny
segera setelah dia menyisipkan celana dalamnya ke bawah bantal.
Ronny
yang masih hijau dan belum mengerti apa-apa tentu saja langsung mengiyakan
pesan Tante Yensi dan cepat mengikuti ajakan itu meskipun hatinya berdebaran
tegang. Berpindah dia menaiki tubuh Tante Yensi dalam posisi untuk menindih
tapi tidak menempel sesuai instruksi Tante Yensi yang masih mengatur cara untuk
memulai sanggama ini. Di situ sementara Ronny di atasnya masih bertahan
merenggang bertumpu pada kedua siku lengan dan lututnya, kedua tangan Tante Yensi
terjulur ke bawah mempersiapkan pertemuan dua kemaluan. Dengan sekedar
menyingkap ke atas gaun tidurnya membebaskan vaginanya, sebelah tangannya
memegang penis Ronny dan kemudian menempelkan ujungnya di mulut vagina yang
sudah dikuakkan dengan jari-jari sebelah tangannya lagi. Yensi sendiri sudah
gemetaran diburu keinginannya tapi belum langsung mulai, dia masih
menggosok-gosokkan kepala batang Ronny di klitoris dan mulut lubang untuk
merangsang cairan vaginanya lebih banyak keluar. Sambil begitu, senang dia
memperhatikan air muka Ronny menegang terbingung-bingung dengan apa yang sedang
dialaminya. Sampai setelah merasa cukup waktunya dia pun menyesapkan kepala
batang itu dengan meminta Ronny menekan sedikit. Ini diikuti Ronny dan begitu
mulai terjepit segera kedua tangan Yensi dicabut untuk dipindahkan mengatur
gerak Ronny memasukan batangnya. Kali ini yang sebelah memegang pantat atas Ronny
untuk isyarat menekan sedang yang sebelah memegang pinggul untuk isyarat
menarik.
“Ikutin Tante, ya?” katanya memberi tanda untuk mulai.
Begitu, dengan dipandu kedua tangan Tante Yensi gerak tarik tusuk batang Ronny
dimulai pelan sementara Tante Yensi sendiri mengimbangi dengan memutar-mutar
vaginanya agar usaha memasukan penis menjadi lancar. Dia perlu membantu dulu
karena Ronny masih terlalu polos sehingga kuatir langsung main sekali tusuk
membuatnya perih. Ternyata mulus saja karena sebentar kemudian seluruh panjang
batang itu sudah tenggelam habis. Yensi baru mengendor dan menarik tubuh Ronny
bisa menindih penuh, hanya bagian kepala masih merenggang memandangi Tante Yensi
tetap terbingung-bingung tegang.
“Udah masuk semua punyamu Fer, gimana rasanya diginiin, enak
nggak?” goda Tante Yensi.
Ronny hanya bisa mengangguk dengan mulut serasa penuh sulit
untuk bicara, Tante Yensi jadi tersenyum geli.
“Ayo deh, sekarang kamu bisa mainin pelan-pelan rasain
enaknya..” kata Tante Yensi dengan menarik kepala Ronny mendekapnya sayang pipi
bertemu pipi.
Meskipun belum mengerti penuh tapi Ronny mulai bergerak
mengikuti nalurinya. Penisnya dimainkan tarik tusuk menggesek di jepitan
vagina, sementara Yensi sendiri sudah menenggelamkan diri untuk menikmati asyik
yang didapat dari sodokan-sodokan penis untuk menyalurkan tuntutan kerinduan
berahinya. Matanya dipejamkan meresap asyik dengan ikut memutar vaginanya
menambah rasa gesekan dengan kilikan enak di dalam rahimnya.
Sanggama memang tidak memerlukan pelatihan khusus
sebelumnya, karena naluri akan membawa si pemula akan jadi bisa dengan
sendirinya. Ronny yang meskipun baru kali inipun begitu juga. Rasa enak yang
didapat waktu dia baru mulai pelan-pelan menggesek penisnya meningkat penasaran
untuk menambah lebih banyak lagi. Semakin dipercepat gerak memompa semakin enak
yang dirasakannya. Penisnya seperti dilocok-locok dan dipijit-pijit oleh
jepitan vagina begitu mengasyikkan sekali, ini tidak hanya oleh gesekan tarik
tusuk saja tapi juga dibantu putaran kocokan vagina Yensi. Satu-satunya
kekurangan Ronny saat itu adalah dia belum berpengalaman untuk mengatur
emosinya tapi tentu saja ini sudah diantipasi Yensi. Apalagi Yensi sedang
dituntut berahinya sehingga dengan berkonsentrasi sebentar Yensi tidak
ketinggalan dari Ronny. Dia tiba bersamaan dengan Ronny di akhir permainan.
“Hhoohgh..” Yensi mengerang mencapai orgasmenya bersamaan dengan Ronny
berejakulasi.
Tidak seperti biasanya dengan suaminya di mana Tante Yensi
berorgasme dalam gaya ekstasi yang merintih dan menggeliat-geliat seperti
terlupa segala-galanya, kali ini kecuali mengejang-ngejang menahan suara, Tante
Yensi seperti menunggu momen indah yang tidak ingin dilewatkannya yaitu melihat
saat pertama jejaka ini berejakulasi. Di atas dilihatnya mimik muka Ronny diam
tegang dengan mulut setengah menganga kaku mengernyit-ngernyit alisnya dengan
mata sayu ketika untuk pertama kali dia menyalurkan kejantanannya, tapi di
dalam jepitan vagina dirasakannya penis Ronny mengamuk menyentak-nyentak
menyemprotkan cairan mani seolah dipompa keluar lewat kejutan perutnya.
Semburan deras yang kalau batang dicabut mungkin bisa mencapai jarak 3 meter
itu, sekarang dinikmati Yensi sambil dia juga mengejang berorgasme, momen ini
dirasakannya begitu indah mengasyikkan sekali karena terasa begitu lama dan
panjang temponya. Tenang dan tidak histeris gayanya tapi justru kesannya lebih
menyenangkan. Dan dalam keadaan seperti itu muncul sayang yang lebih besar
kepada Ronny yang langsung diusap-usap dan dibelai-belai mesra wajah serta
rambutnya dari saat berorgasme sampai dengan kejutan-kejutan melemah untuk
kemudian berhenti dengan nafas tersengal-sengal. Nah, kesan indah inilah yang
membuat keduanya melanjutkan permainan terlarang secara rahasia sampai kemudian
Yensi membuat hubungan baru denganku.
Sebetulnya cerita pengalaman Ronny kepadaku bukan
diceritakan oleh dia sendiri kepadaku justru kudengar dari Tante Yensi sendiri.
Kenapa bisa begitu? Ini tidak lain karena aku berikutnya juga mengambil bagian
meniduri Tante Yensi sehingga dia jadi akrab kepadaku. Tentu, bukan aku yang
memulai lebih dulu melainkan Tante Yensi yang membujuk dalam usahanya menutup
mulutku karena aku dilihatnya mulai mencurigai adanya hubungan gelap antara dia
dengan Ronny. Mulanya aku sering dibawa Ronny bertandang ke rumah tantenya dan
karena sudah kenal akrab aku juga sering datang sendiri mencari Ronny yang
kutahu pasti ada di situ. Tadinya biasa-biasa saja tapi lama-lama aku mulai
mencurigai bahwa Ronny tentu punya hubungan istimewa dengan tantenya ini karena
kulihat cara keduanya begitu mesra berbeda antara hubungan tante dengan
keponakannya. Malah sekali pernah kupergoki Tante Yensi keluar dari kamar
bersamaan dengan Ronny dalam kedaan kusut seperti habis bergelut, tapi tentu
saja aku pura-pura tidak tahu karena tidak etis menanyakan secara mendetail
kepadanya. Ronny sendiri sudah merasa bahwa aku mencurigai adanya hubungan
gelap itu hanya jelas dia juga berusaha menyembunyikannya kepadaku.
Akan tetapi kalau Ronny tetap menutup mulutnya kepadaku
sesuai pesan tantenya, tidak demikian dengan Tante Yensi sendiri. Sadar bahwa
aku bisa berbahaya kalau tidak diajak kerja sama, dia pun menyusun siasat untuk
menjebakku. Waktu itu Ronny sudah kembali ke Yogya setamat SMA untuk
melanjutkan kuliah di kotanya sendiri.
Suatu ketika rumahnya sedang kosong cuma tinggal Tante Yensi
berdua Ganis, anaknya yang baru berusia 3 tahun, dia meneleponku untuk meminta
tolong membetulkan kran kamar mandinya. Tentu saja kupenuhi karena aku baginya
sudah dianggap seperti keluarga di rumahnya dengan sendirinya cepat saja
kupenuhi permintaan itu. Aku datang dengan segera tapi kran rusak ternyata
hanya alasan saja melainkan diminta untuk menemani sambil membantu memijiti
kakinya yang katanya sedang kram. Di ruang tengah Tante waktu itu duduk di sofa
panjang sedang menunggui Ganis yang sedang bermain-main di atas karpet di
depannya.
“Abis kalo nggak pake alesan keran nanti nggak enak didengar
keluargamu. Sini Ron, Ronny bisa bantuin mijetin kaki Tante, nggak? Tante suka
rasa keram di kaki.” begitu katanya menyambutku dan langsung meminta bantuanku.
Aku mengangguk dan mendekat berlutut di depannya akan mulai
memijit sebelah kakinya di bagian bawah tapi rupanya bukan di situ.
“Oo bukan di situ Ron..Di sini, di selangkangan ini. Nggak
apa ya Tante begini, nggak usah kikuk, Ronny kan udah kayak anak Tante
sendiri.” katanya sambil menyingkap roknya ke atas menunjukkan daerah yang
harus kupijit yaitu di selangkangan pahanya.
Tidak tanggung-tanggung, rok itu disingkap sampai di atas
celana dalamnya sehingga mau tak mau terpandang juga gundukan vaginanya
menerawang dari balik kain tipis celana dalamnya itu. Tentu saja, biarpun sudah
dipesan lebih dulu agar aku tidak usah kikuk-kikuk, tidak urung mukaku langsung
berubah merah malu dengan pemandangan yang seRonnyok ini. Tante seperti tidak
mengerti apa yang kurasakan, dia menyuruh aku mendekat masuk di tengah
selangkangannya dan mengambil kedua tanganku, meletakan di masing-masing paha
atasnya persis di tepi gundukan bukit vaginanya. Dia minta bagian yang katanya
sering pegal itu kutekan pelan-pelan dan waktu kumulai agak bergetaran juga
tanganku mengerjainya sementara Tante Yensi memejamkan matanya pura-pura
menikmati pijitanku. Padahal sungguh, aku sama sekali tidak tahu bahwa aku
sedang diperangkap olehnya.
“Iya di situ sering pegel Ron, tapi ntar dulu.. kurang pas
yang itu, Tante naikin kaki dulu..”Berikutnya dengan alasan kurang puas Tante
menaikan kedua telapaknya ke atas tepi sofa di mana dia sekarang minta aku
memijit lebih ke dalam lagi sehingga boleh dibilang aku hanya memijit-mijit
otot seputar kemaluannya saja. Pikiranku mulai terganggu karena bagaimanapun
meremas-remas tepi bukit yang sedang terkangkang menganga ini mau tidak mau
membuat nafasku memburu juga. Maklum, meskipun masih remaja tapi aku sudah
kenal tidur dengan perempuan sehingga jelas mengenal rasa yang bisa diberikan
bukit menggembung di depanku. Apalagi dalam pemandangan yang merangsang seperti
ini.
Nah, di tengah-tengah kecamuk lamunan seperti ini Tante
semakin jauh menggodaku.
“Ngomong-ngomong Ronny udah pergi maen cewek, belum?”
“Ngg.. maen cewek maksud Tante pacar-pacaran?” kataku balik
bertanya pura-pura tidak mengerti.
“Maksudnya tidur sama cewek, ngerasain ininya,” katanya
sambil menunjuk vaginanya.
Ditanya begini wajahku merah lagi, jadi gugup aku menjawab,
“Ngmm.. belum pernah Tan..” jawabku berbohong.
Mungkin aku salah menjawab begini karena kesempatan ini
justru dipakai tante makin menggodaku.
“Ah masak sih, coba Tante pegang dulu..” begitu selesai
bicara dia sudah menarikku lebih dekat lagi dengan menjulurkan kedua tangannya,
satu dipakai untuk menggantol di leherku menahan tubuhnya tegak dari sandaran
sofa, satu lagi dipakai untuk meraba jendulan penisku.
“Tante pengen tau kalo bangunnya cepet berarti betul belum
pernah.” lanjutnya lagi.
Entah
artinya yang sengaja dibolak-balik atau memang ini bagian dari kelihaiannya
membujukku, namanya aku masih berdarah muda biarpun sudah terbiasa menghadapi
perempuan tapi dirangsang dalam suasana begini tentu saja cepat batangku naik
mengeras. Kalau sudah sampai di sini sudah lebih gampang lagi buat dia.
“Wihh, memang cepet bener bangunnya.. Tapi coba Ron, Tante
kok jadi penasaran kayaknya ada yang aneh punyamu..” katanya tanpa menunggu
persetujuanku dia sudah langsung bekerja membuka celanaku membebaskan penisku.
Aku sulit menolak karena kupikir dia betul-betul sekedar penasaran ingin
melihat keluarbiasaan penisku. Memang, waktu batangku terbuka bebas matanya
setengah heran setengah kagum melihat ukuran penisku.
“Buukan maen Ronnyy.. keras banget punyamu..” katanya memuji
kagum tapi justru melihat yang begini makin memburu niatnya ingin cepat
menjeratku, “Tapi masak sih yang begini belum pernah dipake ke cewek. Kalo gitu
sini Tante kenalin rasa sedikit, deket lagi biar bisa Tante tempelin di sini.”
lanjutnya, lagi-lagi tanpa menunggu komentarku dia memegang batangku dan
menarikku lebih merapat kepadanya. Apa yang dimaksudkannya adalah dengan
sebelah tangan bekerja cepat sekedar menyingkap sebelah kaki celana dalamnya
membebaskan vaginanya, lalu sebelah lagi membawa penisku menempelkan kepala
batangku di mulut lubang vaginanya. Di situ digosok-gosokannya ujung penisku di
celah liangnya beberapa saat dulu baru kemudian menguji perasaanku.
“Gimana, enak nggak digosok-gosokin gini?”
Tentu, jangan bilang lagi kalau sudah begini aku yang sudah
tegang dengan sinar mata redup sudah sulit untuk melepaskan diri, berat rasanya
menolak kesempatan seperti ini. Aku cuma mengiyakan dengan mengangguk dan Tante
Yensi meningkat lebih jauh lagi.
“Kalo gitu Ronny yang bikin biar bisa rasa-rasain sendiri,
tapi tunggu Tante buka aja sekalian supaya nggak ngalangin.” lanjutnya dengan
cepat melepas celana dalamnya untuk kemudian kembali lagi pada posisi
mengangkangnya.
Menggosok-gosokan sendiri ujung kepala penisku di mulut
lubang vaginanya yang menganga tambah membuatku semakin tegang dalam nafsu,
tapi untuk menyesapkan masuk ke dalam aku masih tidak berani sebelum mendapat
ijinnya. Padahal itu justru yang diinginkan tante hanya saja mengira aku
benar-benar masih hijau dia masih memakai siasat halus untuk menyeretku masuk.
“Ahh.. kedaleman gosokinnya..” katanya menjerit geli
memaksudkan aku agak terlalu menusuk. Padahal rasanya aku masih mengikuti
sesuai anjurannya, tapi ini memang akal dia untuk masuk di siasat berikut,
“Tapi gini, supaya nggak keset sini Tante basahin dulu punyamu.” katanya
mengajak aku bangun berdiri.
Kali ini apa yang dimaksudkannya adalah dia langsung
mengambil penisku dan mulai menjilati seputar batangku, sambil sesekali
mengulum kepalanya. Kalau sudah sampai di sini rasanya aku bisa menebak ke mana
kelanjutannya. Dan memang, ketika dirasanya batangku sudah cukup basah licin
dia pun menarik lagi tubuhku berlutut dan kembali memasang vaginanya siap untuk
kumasuki. Dalam keadaan seperti itu aku betul-betul sudah buntu pikiranku,
terlupa bahwa dia adalah Bibi dari teman baikku. Rangsangan nafsu sudah
menuntut kelelakianku untuk tersalurkan lewat dia.
Sehingga sekalipun Tante Yensi tidak lagi menyuruh dengan
kata-katanya, aku sudah tahu apa yang akan kulakukan. Ujung penis mulai
kusesapkan di lubang vaginanya segera kuikuti dengan gerakan membor untuk
menusuk lebih dalam. Tante sendiri meskipun mimik mukanya agak tegang, dia ikut
membantu dengan jari-jari tangannya lebih menguakkan bibir vaginanya menjadi
semakin menganga, untuk lebih memudahkan usaha masuk batangku. Tapi baru saja
terjepit setengah, tiba-tiba Ganis datang mengganggu konsentrasi teristimewa
bagi Tante Yensi. Si kecil yang belum mengerti apa-apa ini naik ke sofa
langsung menunggangi perut Tante seolah-olah ingin ikut bergabung dengan kami.
“Nanti dulu Dek, Mama lagi mau di cuntik Mas Ronny.. Adek
maen dulu sana, ya?” agak kerepotan Tante membujuk Ganis untuk menyingkir dan
kembali bermain, sementara aku sendiri tetap sibuk membor dan menggesek keluar
masuk penisku untuk menanam sisa batang yang masih belum masuk.Di atas dia
repot meredam kelincahan Ganis, sedang di bawah dia juga repot menyambut
batangku. Sesekali merintih memintaku jangan terlalu kuat menyodokkan penisku.
“Aashh Maas.. pelan Mas.. cakit Mama Adek dicuntik
keras-kerass..”
Untung berhasil Tante Yensi membujuk Ganis tepat pada saat
seluruh batangku habis terbenam. Lega wajahnya ketika Ganis sudah mau turun
kembali bermain.
“Naa, sekarang Mama Adek mau maen sama Mas Ronny dulu, ya?
Ayo Mas pindah ke bawah dulu, Mama Adek juga pengen ikutan ngerasain enaknya.”
Tanpa melepas kemaluan masing-masing kami pun berpindah ke karpet, Tante Yensi
yang di bagian bawah. Di situ begitu posisi terasa pas kami segera menikmati
asyik gelut kedua kemaluan denganku memompa dan Tante Yensi mengocok vaginanya.
Nikmat sanggama mulai meresap dan meskipun di tengah-tengah asyik itu Ganis
juga sering datang mengganggu, tapi kami sudah tidak peduli karena
masing-masing sedang berpacu menuju puncak kepuasan. Dan ini ternyata bisa
tercapai secara bersamaan. Agak terganggu dengan adanya Ganis lagipula suasana
kurang begitu bebas, tapi toh cukup memuaskan akhir permainan itu bagi kami
berdua. Kelanjutan hubungan kami memang sulit mencari kesempatan yang lowong
seperti itu lagi. Setelah yang pertama ini masih sempat dua kali kami melakukan
hubungan badan tapi kemudian terputus.
Ada satu keasyikan tersendiri yang kurasakan jika sedang
bercinta dengan Tante Yensi yang bertubuh montok ini. Enak rasanya bergelut
dengan daging tebalnya, seperti menari-nari di atas kasur empuk berbantalkan
susunya yang juga montok dan besar itu. Rasanya dalam sejarah percintaanku
dengan para wanita yang kesemuanya cantik-cantik lagi berlekak-lekuk padat
menggiurkan, maka cuma dengan dia satu-satunya yang berbeda. Tapi, inilah yang
kusebut asyik tadi. Aku sama sekali tidak merasa menyesal dan justru selalu
merindukan untuk mengulang kenangan bersama dia, hanya saja kesempatan sudah
sulit sekali untuk didapat.
Kesempatan kali keempat kudapat tiga tahun setelah itu yaitu
ketika aku diminta mengantar Tante Yensi untuk menghadiri upacara perkawinan
seorang keluarga mereka di Semarang. Waktu itu rencananya aku hanya mengantar
saja dan setelah acara selesai akan pulang langsung ke Bandung ke tempat
kuliahku, tapi rupanya Tante Yensi berubah pikiran ingin pulang menumpang lagi
denganku. Mau tak mau aku pun berputar melewati Jakarta untuk mengantarkan
Tante Yensi ke rumahnya dulu sebelum ke Bandung. Tante memang rupanya tidak
ingin berlama-lama dalam kunjungannya, itu sebabnya Ganis tidak diajak serta
dan ditinggal bersama pembantu serta suaminya di rumah.
Begitu, dalam perjalanan yang cuma kami berdua di mobil kami
pun ngobrol dengan akrab, dengan Tante Yensi yang lebih banyak bertanya-tanya
tentang keadaanku sementara aku sendiri sibuk mengemudi. Sampai kemudian
menyinggung tentang kegiatan seksku, Tante Yensi memang bisa menduga bahwa aku
tentu sudah banyak pengalaman galang-gulung dengan perempuan.
“Ngomong-ngomong soal kita dulu kalo sekarang Ronny udah
kenal banyak cewek cakep pasti kamu nyesel kenapa bikin gitu sama Tante waktu
hari itu, ya nggak Ron?”
“Nyesel sih enggak Tan, gimanapun kan Tante yang pertama
kali ngenalin rasa sama Ronny. Apalagi Ronny juga punya kenangan manis dari
Tante.” jawabku menyinggung hubungan intimku waktu itu dengannya.
“Tapi itu kan duluu.. Sekarang dibanding-bandingin sama
kenalan-kenalanmu yang lebih muda pasti kamu mikir-mikir lagi, kok mau-maunya
aku sama Tante model gitu. Itupun waktu dulu, sekarang apalagi.. tambah nggak
nafsu liatnya, ya nggak?”
Aku langsung menoleh dengan tidak enak hati.
“Jangan bilang gitu Tan, Ronny nggak pernah nyesel soal yang
dulu. Malah kalo masih boleh dikasih sih sekarang pun Ronny juga masih mau
kok.”
“Jangan menghibur, ngeliat apanya sama Tante kok berani
bilang gitu?”
“Lho kenyataan Dong.. Tante emang sekarang gemukan tapi
manisnya nggak kurang. Malah tambah ngerangsang deh.” jawabku memuji apa
adanya. Karena memang, sekalipun dia sekarang terlihat lebih gemuk dibanding
dulu tapi wajahnya masih tetap terlihat manis.
“Ngerangsang apanya Ron?”
“Ya ngerangsang pengen dikasih kayak dulu lagi. Soalnya
tambah montok kan tambah enak rasanya.” jawabku dengan membuktikan langsung
meraba-raba buah dadanya yang besar itu, Tante Yensi langsung menggelinjang
kegelian.
“Aaa.. kamu emang pinter ngerayu, bikin orang jadi ngira
beneran aja.” katanya mencandaiku.
“Lho Ronny serius kok, kalo masih kepengen ngulang sama
Tante. Makanya tadi Ronny nanya, kalo emang masih boleh dikasih sekarang juga Ronny
belokin nyari hotel, nih?”
Lagi-lagi dia tertawa geli mendengar candaku.
“Yang bilang nggak boleh siapa. Tapi dikasihpun kamu pasti
nggak selera lagi, kan percuma.”
“Ya udah, kalo nggak percaya.. Tapi ngomong-ngomong sebentar
lagi udah gelap, Ronny lupa kalo lampu mobil kemaren mati sebelah belum sempat
diganti. Gimana kalo kita nyari hotel aja Tan, besok baru terusin lagi.” kataku
mengajukan usul karena kebetulan memang lampu mobilku padam sebelah. Sebetulnya
ada cadangan tapi ini kupakai alasan untuk mengajaknya menginap.
“Duh kamu kok sembronnyo sih Ron.. Ayo cari penginepan aja
kalo gitu, dipaksa nerusin nanti malah bahaya di jalan.”
Kupercepat laju mobilku sebelum gelap dan di kota terdekat
aku pun mencari sebuah hotel. Begitu dapat aku langsung turun memesan sebuah
kamar sementara Tante menunggu di mobil. Dan setelah kembali ke mobil untuk
mengajak Tante turun sempat kubuktikan dulu padanya tentang lampu mobil
sebelahku yang memang padam itu.
Berdua masuk ke kamar, setelah mandi dan makan malam kamipun
bersantai dengan ngobrol sampai kemudian Tante mengajakku untuk pergi tidur.
Kamar yang kupesan memang hanya satu tapi dilengkapi dua tempat tidur
sebagaimana biasanya bentuk kamar hotel. Melihat dari keadaan ini Tante Yensi
tidak mengira bahwa aku betul-betul serius dengan keinginanku untuk mengulang
lagi kenangan lama. Dia baru saja mengganti baju tidur dan baru akan mulai
mengancingnya ketika aku keluar dari kencing di kamar mandi langsung mendekat
memeluknya dari belakang. Aku sendiri hanya mengenakan handuk berlilit pinggang
setelah membuka bajuku di kamar mandi.
“Gimana Tan, masih boleh dikasih Ronny nggak..” bisikku
meminta di telinganya tapi sambil mengecup leher bawah telinganya diikuti kedua
tanganku mulai meremasi masing-masing susunya.Tersenyum geli dia karena sudah
sampai di situ pun dia masih mengira aku cuma bercanda menggoda.
“Apanya yang enak sih sama orang yang udah gembrot gini, Ron.”
“Buat Ronny sih tetap enak, malah Ronny kangen deh Tan..”
Sambil bicara begitu kubuka lagi satu kancing daster
tidurnya yang baru terpasang, sehingga bagian depan tubuhnya terbuka berikut
kedua susunya yang bebas karena Tante sengaja tidur tanpa memakai kutang, untuk
kemudian tanganku berlanjut meremasi susu telanjangnya itu. Tante membiarkan
saja tapi dia bertanya mengujiku dengan nada setengah ragu kepadaku.
“Masak sih kangen sama Tante? Kan kamu biasanya sama
cewek-cewek cakep, yang masih muda lagi langsing-langsing badannya..?”
“Justru melulu sama yang begitu Ronny malah sekali-sekali
kepengen yang laen biar ada variasinya. Jadinya keinget sama Tante bikin Ronny
kangen sama montoknya..”
“Kamu bisa aja..”
“Lho bener Tan. Montoknya Tante ini yang bikin enak, mantep
rasanya. Apalagi yang ini.. hmm.. sekarang tambah montok berarti tambah enak
lagi rasanya..” kali ini sebelah tanganku sudah kujulurkan ke bawah
meremas-remas gemas gundukan vaginanya.
Tante Yensi merengek senang, sekarang baru dia percaya
dengan keseriusanku. Apalagi ketika dia juga membalas menjulurkan tangannya ke
belakang, di situ dia mendapatkan bahwa di balik handuk itu aku sudah tidak
mengenakan celana dalam lagi. Tanpa diminta lagi dia sendiri membuka lagi
daster tidur sekaligus juga celana dalamnya sendiri untuk bersama-sama
telanjang bulat naik ke tempat tidur.
Wanita berwajah manis diusianya mencapai 33 tahun ini memang
sudah mekar tubuhnya, tapi bukan gembrot kedodoran dengan lipatan-lipatan kulit
berminyak, melainkan masih cukup kencang lagi cukup mulus sehingga montoknya
berkesan sexy yang punya daya tarik tersendiri. Dan aku juga jujur mengatakan
bahwa aku merindukan kemontokannya, karena baru saja melihat dia terbuka sudah
langsung terangsang gairah kelelakianku. Sebab dia belum lagi merebah penuh,
masih duduk di tengah pembaringan untuk mengurai gelung rambutnya, sudah kuburu
tidak sabaran lagi. Kusosor sebelah susunya, sebelah lagi kuremas-remas gemas,
dengan rakus mulutku mengenyot-ngenyot bagian puncaknya, mengisap, mengulum dan
menggigit-gigit putingnya.
“Ehngg.. gelli Roon.. Iya, iya, nanti Tante kasih..”
merengek kegelian dia karena serangan mendadakku.
“Abis gemes sih Tan..” sahutku cepat dan kembali lagi
menyerbu bagian dadanya.
Melihat begini Tante Yensi mengurungkan merebahkan badannya,
untuk sementara bertahan dalam posisi duduk itu seperti tidak tega menunda
ketidaksabaranku. Air mukanya berseri-seri senang, sebelah tangannya
membelai-belai sayang kepalaku dan sebelah lagi lurus ke belakang menopang
duduknya, ditungguinya aku melampiaskan rinduku masih pada kedua susunya yang
montok dan besar itu.
Seperti anak kecil yang asyik sendiri bermain dengan
balonnya, begitu juga aku sibuk mengerjai bergantian kedua daging bulat gemuk
itu untuk memuaskan lewat rasa mulut dan remasan gemasku. Sampai berkecapan
suara mulut rakusku dan sampai meleyot-leyot terpencet, terangkat-angkat dan
jatuh terayun-ayun, membuat Tante Yensi kadang meringis merintih atau merengek
mengerang saking kelewat gemas bernafsu aku dengan keasykanku, tapi begitupun
dia tidak mencegah kesibukanku itu. Baru setelah dirasanya aku mereda, diapun
bersiap-siap untuk memberikan tuntutan kerinduanku yang berikutnya.
Ini karena dilihatnya aku sudah cukup puas bermain di atas
dan sudah ingin berlanjut ke bawah, yaitu sementara mulutku masih tetap sibuk
tapi tangan yang sebelah mulai kujulurkan meraba selangkangannya, segera Tante Yensi
pun merubah posisi untuk memberi keleluasaan bagiku. Tubuhnya direbahkan ke
belakang sambil meluruskan kedua kakinya yang duduk terlipat menjepit
selangkangannya, langsung dibukanya sekali agar aku bisa mencapai vaginanya.
Mulutku masih terus mengejar menempel di sebelah susunya tapi tanganku sekarang
sudah bisa memegang penuh bukit vaginanya. Bukit daging tebal setangkup
tanganku yang ditumbuhi bulu-bulu keriting halus ini langsung kuremas-remas
gemas, darah kelelakianku pun tambah mengalir deras.
Keasyikan yang baru menarik perhatian baru juga, berpindah
dulu aku ke tengah selangkangannya yang kudesak agar lebih mengangkang sebelum
kutarik kepalaku dari susunya. Tante mengira aku sudah akan mulai memasukinya,
dia sempat menyambar batangku yang sudah tegang dan melocok-locok dengan
tangannya sebentar. Seperti ingin lebih mengencangkan lagi tapi ada terasa
bahwa dia juga merindukan batangku, bisa terbaca dari remasan gemasnya yang
menarik-narik penisku. Begitu posisiku terasa pas, aku pun memindahkan mulutku
turun menggeser ke bawah dengan cara menciumi lewat perutnya sampai kemudian
tiba di atas vaginanya yang terkangkang. Di sini konsentrasiku terpusat dengan
mengusap-usap dan memperhatikan dulu bentuk vaginanya. Ini untuk pertama kali
aku mendapat kesempatan melihat jelas kemaluannya yang sudah pernah tiga kali
kumasuki, tapi karena waktunya sempit tidak sempat kulihat dengan nyata.
Betul-betul suatu pemandangan yang merangsang sekali. Bukit
segitiga yang menjendul dengan dagingnya yang tebal itu ditumbuhi bulu-bulu
yang tidak begitu lebat, tidak cukup menutupi bagian celah lubang yang diapit
pipi kanan kirinya. Tepi bukit itu persis seperti pipi bayi yang montok menggembung,
saking tebalnya sehingga menjepit bibir vagina hanya terkuak sedikit meskipun
pahanya sudah kukangkangkan lebar-lebar. Penasaran kukuakkan bibir vaginanya
dengan jari-jariku untuk melihat lebih ke dalam, tapi belum lagi jelas, Tante Yensi
sudah menegurku dengan muka malu-malu merengek geli.
“Ahahngg.. Ronny mau ngeliat apa di dalem situ?” Aku tidak
menyahut tapi sebelum dia berubah pikiran untuk mencegahku, langsung saja
kusosorkan mulutku ke tengah lubang yang baru kukuakkan itu. “Ssshh Ronnyy..!”
Betul juga. Tante menjerit malu, tangannya refleks ingin menolak kepalaku tapi
sudah terlambat. Sebab begitu menempel sudah cepat kusambung dengan menjilat
dan menyedot-nyedot tengah lubangnya. Adu ngotot berlangsung hanya sesaat
karena Tante kemudian menyerah, menganga dengan wajah tegang dia ketika
geli-geli enak permainan mulutku mulai menyengat dia.
Untuk berikutnya aku sendiri mulai meresap enaknya mengisap
vagina montok yang baru pertama kudapat darinya. Lagi-lagi ada keasyikkan
tersendiri, karena tidak seperti dengan milik wanita-wanita lain yang pernah
kulakukan seperti ini, umumnya celah lubang mereka terasa kecil karena tepi
kanan kirinya tidak setebal ini. Milik Tante Yensi justru penampilannya
kelihatan sempit tapi kalau dikuakan malah jadi merekah lebar dan dalam.
Disosor mulutku yang mengisap rakus, seperti hampir tenggelam wajahku di situ
dengan pipiku bertemu pipi vaginanya.
Di bagian inipun untuk beberapa lama kupuaskan diriku dengan
menyedot menjilat-jilat tengah lubangnya, sesekali menyodok-nyodokkan ujung
lidah kaku lebih ke dalam, membuatnya mengejang sampai membusung dadanya. Atau
juga menggigit-gigit klitoris, menarik-nariknya serta menjilati cepat
membuatnya menggelinjang kegelian. Serupa dengan puting susunya, bagian inipun
sudah mengeras tanda dia sudah terangsang naik berahinya, tapi Tante Yensi juga
tetap membiarkan aku bermain sepuas-puasnya untuk melampiaskan rinduku. Ketika
kurasa sudah cukup lama aku mengecap asyik lewat mulutku dan sudah cukup matang
dia kubawa terangsang, barulah aku mulai memasukkan penisku ke dalam vaginanya.
Di sini baru giliran Tante untuk ikut melampiaskan rindunya kepadaku terasa
dari sambutannya yang hangat.
Seperti pengalaman yang kuingat, Tante Yensi bukan type
histeris dengan gaya merintih-rintih dan menggeliat-geliat erotis, tapi dalam
keadaan saat ini tidak urung meluap juga gejolak rindunya lewat caranya
tersendiri kepadaku. Yaitu seiring putaran vagina laparnya menyambut masuknya
penisku, tubuhku pun ditarik menindihnya langsung didekapnya erat mengajakku
berciuman. Yang ini juga sama hangatnya karena begitu menempel langsung dilumat
sepenuh nafsunya. Berikutnya kami yang sama saling merindukan seolah tidak
ingin melepaskan dekapan menyatu ini. Seluruh permukaan tubuh depan melekat
erat dengan bagian atas kedua bibir saling melumat ketat sedang bagian bawah
kedua kemaluan pun bergelut hangat. Aku yang memainkan penisku memompa keluar
masuk diimbangi vaginanya yang diputar mengocok-ngocok. Ini baru namanya
bersetubuh atau menyatukan tubuh kami, karena hampir sepanjang permainan kami
melekat seperti itu. Hanya sekali kami menunda sebentar untuk menarik nafas dan
kesempatan ini kupakai dengan mengangkat tubuhku dan melihat bagaimana bentuk
wanita montok dalam keadaan sedang kusetubuhi ini. Ternyata suatu pemandangan
yang mengasyikkan sekaligus makin melonjakkan gairah kejantananku. Di bawah
kulihat vaginanya diputar bernafsu, seolah kesenangan mendapat tandingan yang
cocok dengannya.
Memperhatikan vagina di bawah itu bagaikan mulut bayi
berpipi montok yang kehausan menyedot-nyedot botol susunya sudah menambah
rangsangan tersendiri, apalagi melihat keseluruhan goyangan tubuh Tante Yensi.
Seluruh daging tubuhnya ikut bergerak teristimewa kedua susunya yang berputaran
berayun-ayun tambah menaikkan lagi rangsang kejantananku, sampai aku tidak
tahan dan kembali turun menghimpit dia karena sudah terasa akan tiba di saat
ejakulasiku. Pada saat yang sama Tante Yensi juga sudah merasa akan tiba di
orgasmenya, dia yang mengajak lebih dulu dengan menyambung lumatan bibir tadi
untuk menyalurkannya dalam permainan ketat seperti ini. “Hghh ayyo Roon..
Nnghoog.. hrrhg..” dengan satu erang tenggorokkan dia membuka orgasmenya
disusul olehku hanya selang beberapa detik kemudian.
Kami sama mengejang dan sempat menunda sebentar ketika masuk
di puncak permainan, tapi segera berlanjut lagi melumat dengan lebih ketat
seolah saling menggigit bibir selama masa orgasme itu. Baru setelah mereda dan
berhenti, yang tinggal hanya nafas turun naik kelelahan dan tubuh terasa lemas.
Cukup luar biasa, karena meskipun tidak berganti posisi atau gaya tapi
permainan terasa nikmat dengan akhir yang memuaskan. Malah seluruh tubuh sudah
terasa banjir keringat saking serunya berkonsentrasi dalam melampiaskan
kerinduan lama kami. Untuk itu aku begitu melepaskan diri hanya duduk di
sebelahnya agar keringat di punggungku tidak membasahi sprei tempat tidur.
“Gimana Ron rasanya barusan..?” Tante Yensi mengujiku sambil
tangannya mengusap menyeka-nyeka keringat di punggungku. Aku berputar menghadap
dia.
“Makanya Ronny tadi ngotot minta, soalnya udah yakin duluan
memek montok Tante ini bakal ngasih enak..” jawabku dengan meremas
mencubit-cubit vaginanya.
“Udah enak, puas lagi.. Tapi Tante sendiri, gimana rasanya sama
Ronny?” balik aku bertanya padanya.
Mendapat pujianku air mukanya bersinar senang, ganti dia
memujiku.
“Sama kamu sih nggak usah ditanya lagi, Ron. Dulu aja kalau
nggak sayangin kamu masih muda sekali, udah mau terus-terusan Tante ngajakin
kamu.”
“Oya? Kok tadi diajak masih kayak ogah-ogahan?”
“Bukan ogah-ogahan, tapi takut ketagihan sama Ronny..”
jawabnya bercanda sambil tertawa. Aku jadi tertawa geli. Itulah hubungan ke
empat kalinya dengan Tante Yensi.
Post a Comment